Perlu kita ketahui bahwa keberhasilan suatu sekolah kepemimpinan dalam mencetak anak didik yang berkualitas dipengaruhi beberapa elemen yang ada di dalamnya.
Elemen tersebut diantaranya, kepala sekolah, guru, staf administrasi, komite sekolah, masyarakat di sekitar lingkungan sekolah, dan kemitraan dengan lembaga lainnya. Kepemimpinan menurut Soepardi (dalam Mulyasa, 2005:107) adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum jika diperlukan, dan membina dengan maksud agar individu dapat menjadi media manajemen yang mampu bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien. Dalam kepemimpinan ada tiga hal yang saling berhubungan yaitu pemimpin dan karakteristiknya, pengikut, serta situasi kelompok tempat pemimpin dan kelompok berinteraksi. Sedangkan gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya.
Gaya kepemimpinan dapat dikaji melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional. Pendekatan sifat dalam kepemimpinan menurut Tead (dalam Mulyasa, 2005:107) memiliki beberapa syarat yaitu kekuatan fisik, penghayatan terhadap arah dan tujuan, antusiasme, keramah tamahan, integritas, keahlian teknis, kemampuan mengambil keputusan, intelegensi, kepercayaan, dan keterampilan dalam memimpin. Pendekatan perilaku lebih fokus kepada keaktifan gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin. Pendekatan perilaku dalam sistem kepemimpinan Likert dengan mengembangkan teori kepemimpinan dalam dua dimensi berupa orientasi tugas dan orientasi individu. Selanjutnya pendekatan situasional adalah pendekatan yang menitikberatkan pada berbagai gaya kepemimpinan yang paling efektif diterapkan dalam situasi tertentu dengan melihat keadaan dan waktu. TeoriKepemimpinan situasional adalah pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan pada hubungan tiga faktor, yaitu perilaku tugas (Task behaviour), perilaku hubungan (Relationship behavior) dan kematangan (Maturity). Gaya kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan kematangan anak buah. Gaya mendikte (Telling), diterapkan jika anak buah dalam tingkat kematangan rendah dan memerlukan petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya menjual (Selling), diterapkan apabila kondisi anak buah dalam taraf rendah sampai moderat. Maksudnya mereka telah memiliki kemauan untuk melakukan tugas, tapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai.Gaya melibatkan diri (Participating), diterapkan apabila tingkat kematangan anak buah berada pada taraf moderat sampai tinggi. Mereka memiliki kemampuan, tapi kurang memiliki kemauan kerja dan percaya diri. Sekolah berbasis kepemimpinan tujuan akhirnya adalah mampu mencetak setiap elemen sekolah dapat memimpin utamanya memimpin dirinya sendiri serta lingkungan di sekitarnya di masa yang akan datang.
Apa yang ada di benak kita jika mendengar istilah tentang sistem pendidikan inklusif, mungkin kita akan berfikir bahwa sekolah harus menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Maka kita perlu mengetahui bahwa sekolah dengan sistem pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari sistem pendidikan terpadu. Sistem pendidikan inklusif mengusahakan semua anak dapat dilayani secara optimal dengan melakukan penyesuaian atau modifikasi pembelajaran kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidik, sistem pembelajaran, maupun sistem penilaian sesuai dengan kebutuhan anak. Menurut Stainback (1980) mengemukakan bahwa sekolah dengan sistem pendidikan inklusif merupakan sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Jadi sekolah menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid dan dukungan yang diberikan oleh para guru supaya para murid dapat berhasil. Jadi dapat disimpulkan sistem pendidikan inklusif adalah sekolah yang tidak harus ada anak berkebutuhan khusus atau ABK di dalamnya, akan tetapi sekolah yang menampung semua anak didik yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dalam gaya belajar, sikap, dan karakter setiap anak untuk difasilitasi pihak sekolah dengan optimal.
Pada Deklarasi Bangkok tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education.” Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif. Indonesia sendiri pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Intinya secara garis besar bahwa sistem pendidikan inklusif tidak terletak pada sekolahnya akan tetapi pada program sekolahnya. Adapun negara yang sudah menerapkan sistem pendidikan inklusif dengan baik adalah Finlandia, dimana sistem pendidikannya tidak mengklasifikasi siswa sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Tujuan dari negera Finlandia dengan memasukkan semua siswa di kelas yang sama tanpa pembedaan kemampuan adalah untuk menghasilkan siswa cerdas secara merata karena dalam proses belajar akan ada kerja sama dari siswa yang terlalu pandai di kelas dengan siswa yang kurang pintar.
Untuk menciptakan sekolah berbasis kepemimpinan, sekolah perlu menerapkan kebiasaan yang efektif dan sukses untuk semua elemen sekolah terutama pada siswa. Managemen sekolah dapat menerapkan “The 7 Habits of Highly Effective People” karya Stephen R. Covey (1989) untuk menghasilkan sekolah berbasis kepemimpinan. Pertama yang harus dilakukan pihak sekolah adalah menciptakan lingkungan sekolah yang membiasakan semua elemen sekolah menjadi pribadi proaktif yaitu selalu bersikap positif terhadap keadaan di sekeliling mereka. Tujuannya adalah menciptakan individu yang memiliki pilihan untuk mengemudikan hidupnya. Sebagai contohnya adalah ketika sekolah mengalami permasalahan, maka semua elemen akan berfikir dan bersikap positif dengan mencari solusi bersama tanpa adanya saling menyalahkan. Kedua membiasakan setiap elemen sekolah pada tujuan akhir. Tujuan yang diinginkan adalah menciptakan individu yang mampu menentukan persimpangan positif yang dipilih ketika dalam kondisi harus memilih dua pilihan. Adanya pelatihan problem solving di lingkungan sekolah bagi setiap elemen sekolah dalam menghadapi permasalah saat ini terutama permasalahan yang ada di lingkungan sekolah. Ketiga adalah membiasakan setiap elemen sekolah untuk mendahulukan yang utama. Sebagai gambaran jika sekolah memiliki banyak kegiatan dalam waktu yang berdekatan, maka semua elemen sekolah bersama-sama menentukan prioritas dan waktu yang paling penting untuk didahulukan. Keempat adalah berpikir kemenangan bersama yang artinya membiasakan semua elemen sekolah untuk selalu berfikir positif dengan menang bersama melalui gotong royong saling membantu melengkapi kekurangan yang ada demi memajukan sekolah. Kelima adalah membiasakan setiap elemen sekolah untuk memahami dulu, maka akan dipahami. Sebagai contoh program sekolah seperti Avicenna Student Research (ASR) yang dilaksanakan di luar sekolah dengan membaur bersama masyarakat. Siswa terjun langsung ke lapangan bagaimana cara membiasakan keterampilan mendengar dan menumbuhkan sikap empati pada masyarakat terutama pada induk semang atau penduduk yang rumahnya ditempati oleh siswa. Keenam adalah membiasakan setiap elemen sekolah untuk mewujudkan sinergi cara untuk menghasilkan alternatif ketiga (bukan caraku, bukan caramu), melainkan cara ketiga yang lebih baik ketimbang cara kita masing-masing. Sekolah menerapkan program tidak ada jam pembelajaran kosong bagi siswa-siswinya. Program ini awalnya membutuhkan kebiasaan pada semua elemen sekolah terutama guru dan siswa. Program ini dapat dirasakan semua elemen sekolah terutama menciptakan siswa yang disiplin waktu dan fleksibel terhadap perubahan lingkungan. Ketujuh adalah membiasakan setiap elemen sekolah untuk mengasah gergaji atau terus update dan upgrade diri terhadap ilmu-ilmu yang ada dan perkembangan teknologi di era Industri 4.0. Guru sebagai pendidik dituntut untuk terus update terhadap isu-isu yang berkembang dalam dunia pendidikan dan upgrade melalui ikut pelatihan maupun seminar-seminar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Sebagai tambahan bahwa habits nomor 1, 2, dan 3 lebih kepada kepribadian, habits nomor 4, 5, dan 6 lebih kepada umum sedangkan habits nomor 7 lebih kepada memperbaharui diri kita terus agar menjadi pribadi yang berkualitas dan unggul.
Sebelumnya mari kita mempelajari implikasi manajerial pendidikan inklusif di sekolah umum yang menerapkan sistem inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah. Sekolah reguler mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual. Selain itu guru di kelas reguler harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif. Guru pada sekolah penyelenggara sistem inklusif dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan. Dengan menerapkan sistem pendidikan inklusif, siswa akan belajar kombinasi beberapa pelajaran sekaligus. Hal ini telah dilakukan pada tahun 2015 oleh negara Finlandia untuk memfleksibelkan dunia pendidikan mengikuti sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang di hadapi anak didik. Tujuan yang inggin dicapai diharapkan agar siswa mampu menjadi pribadi yang siap bekerja di kemudian hari. Mereka berprinsip bahwa mahir dalam satu bidang saja tidak akan membuat siswa sukses apalagi mampu mengubah dunia. Kombinasi belajar dapat diatur sendiri oleh guru atau ada masukan dari keinginan siswa. Sebagai contoh belajar “cara mengolah cafe” yang berisi kombinasi belajar matematika dalam hitungan laba atau keuntungan dari proses penjualan, ekonomi untuk perencanaan modal dan keuntungan yang akan dicapai, seni dan tata boga dalam menyiapkan hidangan dengan kopi yang diminati pelangan, bahasa asing untuk melayani pelanggan, dan pengalaman yang berbeda dari gaya belajar normal. Kombinasi belajar ini dapat menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis STEAM adalah sebuah singkatan untuk Sains (science), Teknologi (technology), Teknik (engineering), Seni (art) dan Matematika (mathematic).
Dengan adanya sistem pendidikan inklusif maka secara tidak langsung melatih semua elemen sekolah belajar revolusi mental dengan menyebarkan energi positif yang baik untuk kesehatan hati dalam menghadapi kegiatan sehari-hari di sekolah. Bentuk energi positif dapat berupa adanya kerja sama, gotong royong, tenggang rasa, membiasakan sikap empati sehingga mengurangi perundungan antara siswa, dan masih banyak sisi positif lainnya. Untuk mewujudkan apapun yang ada di dunia ini dasar utamanya adalah mental. Jika kita menciptakan sesuatu dengan mental yang baik maka akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak begitupun sebaliknya. Dan semuanya harus disadari moral yang baik untuk mewujudkan individu berprilaku positif dan mampu menyebarkan energi positif bagi lingkungan di sekitarnya. Dengan adanya moral yang baik maka akan tercipta karakter yang khas pada individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sebagai contoh negara Jepang sangat disiplin dalam menerapkan pendidikan karakter bagi anak didik. Lebih tepatnya, mereka diajarkan untuk menjadi manusia yang “menguntungkan” bagi masyarakat. Atau, sekurang-kurangnya, tidak merugikan. Karena itulah, pendidikan karakter sekolah dasar telah mengajarkan bagaimana cara berinteraksi, mengenal emosi orang lain, menekan ego, kerja sama, disiplin, dan tertib. Melalui serangkaian pendidikan karakter, murid sekolah diharapkan tumbuh menjadi manusia dengan karakter yang bagus dan kuat.
Saat ini kita sudah memasuki era Industri 4.0 dan sudah dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Istilah era Industri 4.0 sendiri pertama kali digunakan oleh negara Jerman. Oleh pemerintahan Jerman istilah era Industri 4.0 pertama kali dipublikasikan pada Hannover Fair tanggal 4-8 April 2011 dan digunakan untuk memajukan bidang industri ke tingkat pengembangan dengan bantuan teknologi. Era Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa tenaga manusia dalam pengaplikasiannya. Adapun inovasi-inovasi baru dalam Industri 4.0 diantaranya Internet of Things (IoT), big data, percetakan 3D, Artifical Intelligence (AI), rekayasa genetika, robot, mesin pintar, dan kendaraan tanpa pengemudi. Faktor pengerak yang harus diperkuat untuk menyambut Industri 4.0 di Indonesia saat ini adalah peningkatan otomatisasi, pengembangan teknologi berkelanjutan, dan persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan meningkatkan keterampilan SDM Indonesia dimana saat ini akan dilanjutkan oleh siswa-siswi sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.
Sekolah berbasis kepemimpinan yang menerapkan sistem pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjawab era Industri 4.0. Kedepannya kita akan menghadapi segala sesuatu lebih cangih. Manusia dituntut bagaimana cara menjawab tantangan zaman yang ditandai dengan adanya perubahan secara terus menerus akibat kemajuan teknologi. Mesin industri nantinya semua menggunakan sistem otomatisasi berbasis komputer, yang tentunya tidak lagi semuanya dikendalikan oleh tenaga manusia. Era Industri 4.0 telah membawa perubahan-perubahan yang mungkin tak terduga sebelumnya dan nantinya sebanyak 57 persen pekerjaan yang ada saat ini akan tergerus oleh robot. Namun di balik hilangnya beberapa pekerjaan akan muncul beberapa pekerjaan baru sehingga yang harus kita lakukan sekarang adalah menyesuaikan diri dengan perubahan. Untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang dibawa oleh era Industri 4.0, seorang individu harus memiliki kemampuan yang tidak akan bisa dilakukan oleh mesin. Seperti kemampuan dalam memecahkan masalah, kreativitas, dan soft skill adalah kuncinya. Soft skill seperti pemecahan masalah yang komplek, berpikir kritis, kreativitas, manajemen manusia, berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, penilaian dan pengambilan keputusan, berorientasi servis, negosiasi, dan fleksibilitas kognitif. Soft skill menjadi salah satu faktor paling penting untuk dimiliki para individu di masa depan, seperti kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain, memecahkan masalah, serta aspek kecerdasan emosional lainnya. Nantinya banyak dibutuhkan individu yang bisa terus belajar, cepat beradaptasi dan update teknologi. Maka sistem pendidikan juga menekankan pengembangan soft skill, selain keterampilan teknis, generasi milenial ke depan bisa lebih mampu beradaptasi secara cepat terhadap perubahan dan memiliki bekal mumpuni untuk menghadapi masa depan dan pengembangan karirnya di era industri 4.0.
Karya Asli – Supriyono, Guru SMA Avicenna Cinere
Leave a Reply