AVICENNA CINERE

Leadership School

Strategi BALOn dalam Pembelajaran Matematika Jaman Now – Avicenna Leadership School

Avicenna Leadership School – Pendidikan merupakan suatu aspek yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara.

Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang mengacu pada kurikulum yang berlaku.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia, mulai dari jenjang yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dengan demikian terlihat bahwa matematika mempunyai peran yang sangat penting dalam pendidikan. Namun, prestasi akan pembelajaran Matematika di Indonesia masih sangat rendah.

Menurut Zulkardi (2003:2), dua masalah utama dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi siswa (rendahnya daya saing siswa diajang Internasional dan rendahnya nilai rata-rata EBTANAS murni nasional khususnya matematika) serta kurangnya minat mereka dalam belajar matematika (matematika dianggap sulit dan diajarkan dengan metode yang tidak menarik karena guru menerangkan, sedangkan siswa hanya mencatat). Diduga, pendekatan pembelajaran matematika di Indonesia masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik. Yang menekankan pada latihan mengerjakan soal atau drill and practice, prosedur serta penggunaan rumus. Siswa kurang terbiasa memecahkan masalah atau aplikasi yang banyak di sekeliling mereka. Sementara itu banyak negara telah mereformasi sistem pendidikan matematika dari pendekatan tradisional ke arah aplication based curricular, yaitu mendekatkan matematika ke alam nyata bagi siswa melalui aplikasi atau masalah kontekstual yang bermakna serta proses yang membangun sikap siswa ke arah yang positif tentang matematika.

Pembelajaran matematika yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA)  tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu. Menurut Soedjadi (2000:37) hal ini dikarenakan adanya perbedaan dalam beberapa hal yaitu: 1) penyajiannya yang disesuaikan dengan perkembangan intelektual perseta didik; 2) menggunakan pola pikir deduktif namun dalam proses pembelajaran dapat digunakan pola pikir induktif; 3) keterbatasan semestanya yang lebih dipersempit dari aspek matematika yang kompleks dan selanjutnya semakin diperluas seiring dengan peningkatan  perkembangan perseta didik; 4) tingkat keabstrakannya yang lebih dikurangi dan selanjutnya sifat abstraknya semakin banyak seiring dengan peningkatan  perkembangan perseta didik. Oleh karena itu pada pembelajaran matematika di sekolah anak didik memerlukan tahapan belajar sesuai dengan perkembangan jiwa dan kognitifnya. Potensi yang ada pada diri anak pun berkembang dari tingkat rendah ke tingkat tinggi, dari sederhana ke kompleks. Karakteristik pembelajaran matematika tidak dapat begitu saja diterapkan tanpa menyesuaikan dengan perkembangan anak didik.

Menurut Piaget (Hudojo,1990:35-37) perkembangan intelektual anak dapat dibagi dalam empat  periode, yaitu : 1) Periode sensori motorik pada usia 0-2 tahun; 2) Periode pra-operasional pada usia 2-7 tahun ; 3) Periode operasi konkrit pada usia 7-11/12 tahun; 4) Periode operasi formal pada usia 11 atau 12 tahun ke atas. Berdasarkan pembagian periode perkembangan intelektual anak oleh piaget, siswa SMP berada pada periode operasi konkrit dan mulai memasuki periode operasi formal. Periode operasi konkrit merupakan permulaan berpikir rasional dan siswa memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah konkrit. Kemampuan siswa operasi konkrit berbeda dengan siswa operasi formal. Siswa pada periode konkrit dan formal keduanya sudah dapat menyelesaikan masalah klasifikasi, namun pada periode konkrit siswa belum mampu menyelesaikan masalah klasifikasi tanpa adanya data konkrit. Anak-anak pada periode formal sudah dapat memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbul atau gagasan dalam cara berpikirnya. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa berkaitan dengan benda-benda empirik. Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak yang masih berada dalam periode operasi konkrit. 

Tujuan mata pelajaran matematika di sekolah menengah pertama adalah agar siswa memiliki kemampuan:

  1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan  mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
  2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
  3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
  4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
  5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. (Wardhani,2008: 8)

Fakta Ironis

Skor PISA 2015 Indonesia dalam bidang matematika (usia 15 tahun) adalah 386 (skor PISA menggunakan rentang 0-1000 dengan 0 sebagai nilai terendah). Skor Indonesia ini jauh di bawah rerata internasional, yakni sebesar 490. Indonesia tidak hanya kalah oleh Malaysia (446) dan Thailand (415), tapi juga dengan Vietnam yang sanggup mencapai skor sedikit di atas rerata internasional, yakni 495.

Rerata nilai Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tingkat SMP se-Indonesia tahun ajaran 2018/2019 sebesar 52,80 dari empat mata pelajaran. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jumlah peserta UNBK mencapai 3,55 juta siswa dari 43.804 satuan pendidikan. Adapun mata pelajaran dengan nilai terendah adalah matematika, yakni 46,56. Kemudian diikuti mata pelajaran IPA dengan nilai 48,79, Bahasa Inggris 50,23 dan Bahasa Indonesia meraih nilai tertinggi 65,69.

            Berdasarkan data yang disampaikan Totok Suprayitno selaku Kabalitbang Kemendikbud dalam Detik.com pada 28 Mei 2019, dari standar kompetensi yang ditetapkan yaitu 55, matematika hanya mencapai angka 46, dan merupakan angka terendah dibandingkan mata pelajaran Ujian Nasional lainnya, yaitu Bahasa Indonesia 65, Bahasa Inggris 50 dan IPA 48.

Bila ditelusuri, rerata nilai UN untuk peajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dari tahun ke tahun memang rendah. Tren-nya bahkan menurun jauh sebelum ada penerapan 10 persen soal dengan penalaran tingkat tinggi atau yang biasa disebut dengan soal High Order Thinking Skill (HOTS). Data pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbud menunjukkan pada UN 2015, nilai rerata UN tingkat SMP berada di angka 50,24. Pada tahun 2016 nilai rerata matematika naik 0,7 poin menjadi 50,31. Kemudian pada 2018 rerata nilai matematika terjun hingga ke angka 43,34 dan terakhir di 2019 nilai rerata matematika hanya mencapai angka 45,42.

Faktor Kegagalan

Mengacu pada fakta diatas, sekolah seolah gagal dalam menjalankan peran mendidik generasi muda dengan praktik pendidikan yang dapat meningkatan kemampuan matematis dan penalaran siswa. Rendahnya hasil belajar matematika siswa diduga disebabkan oleh beberapa fakor internal maupaun eksternal.

Pertama, kesulitan memahami matematika. Hal ini tidaklah mengherankan karena selama ini pembelajaran matematika masih bersifat konvensional dan monoton. Guru lebih banyak mendominasi dalam proses pembelajaran. Guru lebih aktif berceramah dibandingkan dengan siswa. Akibatnya, perasaan bosan belajar matematika sewaktu-waktu bisa muncul pada diri siswa. Banyak fakta menunjukkan pada saat pembelajaran berlangsung sebagian besar siswa kurang antusias menerimanya, siswa lebih bersifat pasif, enggan, takut atau malu untuk mengemukakan pendapatnya.

Kedua, pada kurikulum matematika. Penyebab rendahnya hasil pembelajaran Matematika adalah struktur materi pada kurikulum Matematika yang tidak berurutan, serta kurikulum yang sebelumnya hanya menekankan pembelajaran keterampilan berhitung, maupun kurangnya aktifitas pembelajaran bernalar dan pembelajaran pemecahan masalah (Slamet Wibowo yang mewakili dari Forum Guru dan MGMP Matematika)

Ketiga, berhubungan dengan minat siswa. Kurangnya minat siswa terhadap pelajaran matematika bisa diakibatkan karena motivasi belajar yang masih rendah dan kurang tepatnya metode pengajaran yang disampaikan oleh guru matematika. Hal ini berakibat siswa kurang berkonsentrasi selama kegiatan belaja.

Keempat, kurangnya kedisiplinan siswa. Dalam pembelajaran matematika siswa harus dapat bersikap disiplin terutama dalam mencatat dan mengulas kembali apa yang telah dipelajari. Untuk menguasai matematika siswa dapat melakukan drill latihan soal. Guru harus dapat mendesain soal yang menarik sehingga siswa tertantang untuk mengerjakan soal-soal tersebut.

Implementasi Strategi BALOn dalam Pembelajaran Matematika

            Implementasi nilai-nilai kepemimpinan dalam setiap gerak dan langkah praktik pendidikan sekolah harus dilakukan dengan nyata dan konsisten serta berkelanjutan. BALOn merupakan akronim dari Bicara, Apresiasi, Latihan, dan Online. Strategi BALOn diciptakan beriringan dengan penguatan nilai kepemimpinan yang terdapat dalam 7 Habits. Setiap strategi dalam BALOn mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang tidak hanya mampu menumbuhkan minat belajara matematika siswa, tetapi juga mengembangkan nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh siswa.

Pertama, Bicara. Profesi guru matematika di dalam kelas bisa berevolusi menjadi teman atau kakak di luar kelas, hal ini dapat dimanfaatkan untuk bicara dari hati ke hati dengan muridnya. Tidak hanya bicara tentang pembelajaran matematika, tetapi bisa juga untuk curcol masalah keluarga atau pertemanan. Dalam proses ini guru dan siswa sama-sama menerapakan Seek First to Understand than to be Understood dan menggunakan bahasa Proactive. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik siswa kepada pengajar matematika, karena saat siswa sudah merasa nyaman dengan gurunya, perlahan hal ini dapat membuat siswa juga merasa nyaman dengan pelajarannya.

            Kedua, apresiasi. Guru matematika seringkali memberikan hukuman kepada siswa yang gagal dalam mengerjakan tugas atau sekedar menjawab pertanyaan. Padahal sejatinya, setiap orang membenci hukuman dan menyukai hadiah. Hukum sosial ini dapat menjadi Think Win-Win yang dimanfaatkan oleh guru matematika dengan mengubah peraturan yang biasanya diterapkan. Pemberian hukuman pada siswa yang belum berhasil dapat diganti dengan memberikan apresiasi kepada siswa unggul. Hal ini dapat memacu semangat belajar siswa lain untuk juga mendapatkan apresiasi dari guru. Pemberian apresiasi ini dapat diterapkan dengan memberikan hadiah berupa kupon eskrim koperasi sekolah bagi peraih nilai sempurna saat penilaian harian atau dengan menuliskan kata-kata indah di Rekening Bank Emosi (RBE) milik siswa.

            Ketiga, Latihan. Pembelajaran matematika dan soal-soal latihan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pemberian latihan soal, guru dituntut untuk membuat instrumen soal yang variatif dan tidak membosankan, misalnya dengan cara melibatkan nama siswa atau warga sekolah lainnya dalam butir soal, sehingga akan muncul rasa ketertarikan dari siswa untuk menyelesaikan permasalah tersebut. Pemberian latihan soal dapat diberikan judul yang menarik dan kekinian. Guru harus bisa menggunakan Bahasa Proactive dalam menentukan judul intrumen dan juga Bahasa dalam tiap butir instrumennya. Contoh pemberian judul soal latihan yang anti mainstream adalah Latihan Kuy.

            Keempat, Online. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, guru mengajar banyak siswa yang memiliki kemampuan dasar matematika heterogen. Hal ini berpengaruh terhadap hasil pembelajaran siswa di kelas. Siswa yang lebih unggul memiliki waktu yang lebih sedikit dalam memahami materi dibandingkan siswa lainnya. Dalam hal ini, guru perlu memberikan fasilitas ekstra bagi siswa yang memerlukan waktu lebih dalam pembelajaran matematika. Salah satu fasilitas yang dapat diberikan guru adalah pembelajaran tambahan di luar jam mangajar di sekolah atau dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Guru dapat memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan menyelesaikannya secara online. Guru dapat menawarkan ke siswa untuk menyimpan kontak guru dan mempromosikan untuk dapat belajar online kapanpun dibutuhkan siswa. Mereka dapat saling ber-Synergize dalam mendiskusikan permasalahan matematika. Hal ini dapat dimanfaatkan siswa sebagai suatu langkah dalam menentukan kesuksesan nilai matematika di kemudian hari atau Begin with the End in Mind. Bukan hanya McD yang dapat memberikan pelayanan 24 jam, tapi guru matematika pun bisa.

            Empat upaya itu adalah sebagai batu pijakan dari konsepsi ke stimulasi menuju aktualisasi dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dengan melakukan hal itu, setidaknya dapat menjadi kekuatan baru bagi guru matematikadan sekolahn  sebagai agen terdepan dalam perubahan di bidang pendidikan. Proses pembelajaran matematika tersebut patut dilaksanakan secara terus-menerus, hingga dapat meningkatkan minat dan hasil belajar matematika bagi siswa. Itulah keempat nilai-nilai kepemimpinan yang diterapkan dalam pembelajaran matematika di era jaman now. Dengan konsisten melakukan proses ini, diharapkan siswa dapat lebih menyenangi pelajaran matematika, meningkatkan minat belajar siswa terhadap matematika dan nilai Ujian Nasional matematika, serta mampu menguatkan jiwa kepemimpinan siswa.

Atrikel ini menjadi Juara 2 Lomba Menulis Artikel Sekolah Avicenna

Karya Asli – Khairunissa, Guru SMP Avicenna Cinere

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Hai, Ada yang bisa kami bantu?